Pertanyaan:
Ustadz, saya seorang akhwat. Bagaimana sikap yang benar jika saya berinteraksi dengan ikhwan? Mohon penjelasannya. Jazakumullah khayran.
Jawaban:
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash shalatu was salamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi was shahbihi ajma’in, amma ba’du.
Berikut ini beberapa adab-adab Islam dalam berinteraksi dengan lawan jenis yang bukan mahram.
1. Menundukkan Pandangan
Hendaknya berusaha untuk menundukkan pandangan terhadap lawan jenis. Menundukkan pandangan di sini artinya berusaha tidak melihat lawan jenis yang bukan mahram. Allah ta’ala berfirman:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” (QS. An-Nur: 30-31).
Adapun hukum memandang lawan jenis, perlu dirinci sebagai berikut.
a. Hukum Wanita Memandang Laki-laki yang Bukan Mahram
Wanita memandang laki-laki yang bukan mahram hukum asalnya boleh selama tidak ada syahwat. Sebagaimana hadits dari Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata:
رَأَيْتُ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَسْتُرُنِي، وأَنَا أنْظُرُ إلى الحَبَشَةِ، وهُمْ يَلْعَبُونَ في المَسْجِدِ، فَزَجَرَهُمْ فَقالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: دَعْهُمْ، أمْنًا بَنِي أرْفِدَةَ يَعْنِي مِنَ الأمْنِ
“Aku melihat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menutupiku, ketika aku melihat orang-orang Habasyah bermain di masjid. Umar lalu melarang orang-orang Habasyah tersebut, lalu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Biarkanlah mereka dengan jaminan Bani Arfidah, yaitu keamanan“ (HR. Bukhari no. 454, 987, 3529, Muslim no. 892).
Dalam hadits ini, Aisyah radhiyallahu’anha memandang orang-orang Habasyah yang sedang bermain di masjid sedangkan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak melarangnya.
b. Hukum Laki-laki Memandang Wanita yang Bukan Mahram
Para ulama sepakat memandang aurat wanita yang bukan mahram hukumnya haram. Namun mereka berbeda pendapat tentang hukum laki-laki memandang wanita yang bukan mahram bukan pada auratnya. Ulama Hanafiah dan Malikiyah mengatakan boleh memandang wajah dan telapak tangan kecuali jika muncul syahwat. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan tidak boleh memandang wanita kecuali ada kebutuhan mendesak. Pendapat kedua ini yang lebih kuat. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
النَّظْرَةُ سَهْمٌ مِنْ سِهَامِ إِبْلِيسَ مَسْمُومَةٌ فَمَنْ تَرَكَهَا مِنْ خَوْفِ اللَّهِ أَثَابَهُ جَلَّ وَعَزَّ إِيمَانًا يَجِدُ حَلَاوَتَهُ فِي قَلْبِهِ
”Memandang wanita adalah salah satu panah beracun dari iblis. Siapa yang meninggalkannya karena takut kepada Allah, maka Allah akan memberi balasan iman kepadanya yang terasa manis baginya” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak no. 7875, ia mengatakan: “sanadnya shahih”. Didhaifkan oleh Al-Albani dalam Dha’if At-Targhib no.1194).
Para ulama menjelaskan di antara kebutuhan mendesak tersebut adalah:
- Dalam rangka persaksian dan peradilan
- Dalam rangka pengobatan
- Dalam rangka jual-beli
- Kondisi darurat seperti pemeriksaan identitas, pembuatan KTP, pembuatan paspor, dll.
2. Tidak Bersentuhan Baik Langsung maupun dengan Pelapis
Sebagaimana sabda Nabi shallallahu’alahi wa sallam:
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
“Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya (bukan mahramnya)” (HR. Ar-Ruyani dalam Musnad-nya, 2/227, dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 1/447).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan:
ولا يجوز لا مع العجوز ولا مع الشابة، هذا هو الصواب حتى ولو كان من وراء حائل ولو لفت على يدها شيئاً، فالذي ينبغي أن لا يصافحها مطلقاً؛ لأن مصافحتها مع وجود حائل وسيلة إلى المصافحات الأخرى بدون حائل، فالواجب ترك الجميع أخذاً بقوله ﷺ: إني لا أصافح النساء
“Tidak diperbolehkan kepada wanita tua renta, ataupun wanita muda, ini pendapat yang tepat. Baik dilakukan dengan penghalang, walaupun ia memakai sesuatu di tangannya, maka hendaknya ia tidak bersalaman secara mutlak. Karena bersalaman dengan penghalang itu adalah wasilah kepada bersalaman lain yang tanpa penghalang. Maka wajib untuk meninggalkannya secara mutlak dalam rangka mengamalkan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam: Sungguh aku tidak berjabat tangan dengan wanita” (Mauqi Ibnu Baz).
3. Tidak Boleh Khulwah (berdua-duaan)
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ
“Tidak boleh seorang laki-laki berduaan dengan perempuan kecuali dengan ditemani mahramnya” (HR. Bukhari no. 5233 dan Muslim no. 1341).
Makna khulwah, disebutkan dalam Mu’jam Al-Wasith:
الخلوة مكان الانفراد بالنفس أو بغيرها .والخلوة الصحيحة في الفقه : إغلاق الرجل الباب على زوجته وانفراده بها
“Al-Khulwah adalah tempat seseorang bersendirian, baik satu orang atau bersama yang lainnya. Sedangkan khulwah dalam istilah fiqih artinya: Seorang suami menutup pintu untuk berduaan dengan istrinya”.
Ibnu Muflih dalam kitab Al-Furu’ mengatakan:
الخلوة هي التي تكون في البيوت أما الخلوة في الطرقات فلا تعد من ذلك
“Khulwah itu biasanya di dalam bangunan. Adapun berduaan di jalanan maka tidak termasuk khulwah”.
Maka khulwah adalah laki-laki dan wanita berdua-duaan di tempat yang tidak terlihat oleh orang lain. Termasuk khulwah jika laki-laki dan wanita berkomunikasi berdua melalui telepon atau handphone tanpa ada kebutuhan.
4. Tidak Bercampur-baur antara Lelaki dan Wanita yang Membuat Mudah Sekali Berpandang-pandangan atau Bersentuhan.
Sebagaimana dilarangnya berdua-duaan.
5. Wanita Tidak Boleh Melembut-lembutkan Suara ketika Berbicara dengan Lawan Jenis
Allah ta’ala berfirman:
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Maka janganlah kamu menundukkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik” (QS. Al-Ahzab: 32).
As-Sa’di menjelaskan:
في مخاطبة الرجال، أو بحيث يسمعون فَتَلِنَّ في ذلك، وتتكلمن بكلام رقيق يدعو ويطمع
“(Larangan ini) yaitu ketika berbicara dengan lelaki, atau ketika suara wanita tersebut bisa terdengar oleh lelaki. Sang wanita melembut-lembutkan suaranya, atau berbicara dengan intonasi yang indah yang menarik dan membuat ketagihan untuk didengar” (Tafsir As-Sa’di, hal. 663).
Termasuk berbicara dengan gaya bahasa centil, menggemaskan, imut, lucu, manja, mendayu-dayu, dan semisalnya. Ini semua wajib dijauhi.
Syaikh Muhammad Ali Farkus mengatakan:
كلُّ تعاملٍ بالخطاب أو الكتاب تضمَّن الخضوعَ واللين واللحن، والهَذَرَ والهَزْلَ والدُّعابة والملاطفة والمزاح وغيرَها من المثيراتِ للشهوة والمحرِّكاتِ للغريزة فهو ممنوعٌ سدًّا لذريعة الحرام
“Semua interaksi verbal atau tulisan antara lelaki dan wanita yang mengandung nada yang lembut, gaya bahasa yang gemulai, mendayu-dayu, juga yang penuh kekaguman, melucu, saling tertawa, interaksi yang terlalu akrab, canda ria, dan semacamnya yang menimbulkan bekas di hati dan dapat menimbulkan desiran-desiran syahwat, ini hukumnya terlarang” (Fatawa Syaikh Muhammad Ali Farkus, no.1116)
6. Berusaha Berbicara dan Memenuhi Suatu Keperluan dengan Lawan Jenis dari Balik Tabir jika Memungkinkan
Allah ta’ala berfirman:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka” (QS. Al-Ahzab: 53).
Yang diperintahkan dalam ayat ini adalah para sahabat Nabi terhadap para istri Nabi. Padahal mereka adalah orang-orang yang paling bertakwa dan paling mulia. Namun Allah tetap perintahkan mereka untuk menjaga interaksi mereka dengan memenuhi kebutuhannya dari balik tabir. Maka bagaimana lagi dengan kita?
7. Senantiasa Mengingat Bahaya Fitnah Wanita, Baik Wanita yang Belum Bersuami maupun yang Sudah Bersuami
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
ما تَركتُ بَعدي فِتنَةً أضرَّ على الرجالِ منَ النساءِ
“Tidaklah ada sepeninggalku fitnah (cobaan) yang paling berbahaya bagi lelaki selain fitnah (cobaan) terhadap wanita” (HR. Al-Bukhari 5096, Muslim 2740).
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda:
فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Berhati-hatilah terhadap dunia dan berhati-hatilah terhadap wanita, karena fitnah pertama yang menimpa Bani Israil adalah dari wanita” (HR. Muslim no. 2742).
Ada 3 kaidah penting yang perlu diperhatikan dalam berinteraksi dengan lawan jenis yang bukan mahram, agar tidak terkena fitnah (godaan) terhadap lawan jenis. 3 kaidah tersebut adalah:
1. Menghindar lebih utama, jika kebutuhan bisa dipenuhi dengan orang yang sesama jenis, itu lebih utama.
2. Hanya ketika ada kebutuhan, hanya berinteraksi dengan lawan jenis jika ada kebutuhan mendesak.
3. Tidak berlebihan, jika harus berinteraksi dengan lawan jenis maka jangan sampai berlebihan dan terlalu intens.
8. Tidak Saling Tertawa, Interaksi yang Terlalu Akrab, Canda Ria, dan Semacamnya yang Menimbulkan Bekas di Hati dan Dapat Menimbulkan Desiran-desiran Syahwat.
Karena ini tidak sejalan dengan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam: “Berhati-hatilah terhadap wanita!”. Dan ini dapat menimbulkan fitnah (godaan) dari lawan jenis.
9. Wanita Tidak Boleh Bepergian Jauh kecuali Ditemani Mahramnya
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu’alahi wa sallam:
لا تسافرُ المرأةُ إلا مع ذي محرمٍ
“Tidak boleh seorang wanita bersafar kecuali bersama mahramnya” (HR. Bukhari no. 5233 dan Muslim no. 1341).
10. Tidak Memasang Foto di Medsos, Terutama bagi Wanita.
Karena tidak sejalan dengan perintah untuk menundukkan pandangan dan tidak sejalan dengan dalil-dalil yang memerintahkan untuk waspada terhadap godaan wanita.
Wallahu a’lam. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.
***
Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.
Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/41102-adab-adab-terhadap-lawan-jenis.html